Kapal Selam Changbogo Class |
Pemerintah memastikan rencana pembelian kapal selam baru. Sebagaimana Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Madya Susilo, mengatakan secara implisit di media bahwa setidaknya ada dua unit kapal selam yang akan dibeli. Diberitahukan pula kementerian sedang memproses tawaran pembelian kapal selam dari beberapa negara. Meski demikian, ia tidak menyebutkan kapal selam buatan negara mana yang akan dipilih. Meski kesepakatan pembelian dilakukan tahun ini, dua kapal selam itu baru selesai dibangun lima tahun mendatang. Akan tetapi ditandaskan pembeliannya menyesuaikan ketersediaan anggaran karena harga kapal selam yang sangat mahal. Ia mencontohkan kapal selam jenis Scorpene yang dibeli Malaysia dari Prancis harganya mencapai €550 juta atau lebih dari US$700 juta. Kemudian Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Soeparno mengambangkan lagi dengan menyampaikan masih dalam proses dengan Kementerian Pertahanan.
Merunut informasi sebelumnya selama beberapa tahun terakhir, tender yang sempat diulang kembali mengerucut pada 2 kontestan yaitu galangan Rusia dan Korsel. Mengacu pada hasrat pemerintah tentang prasyarat adanya unsur ToT (Transfer of Technology) di mana kapal selam dirakit di Indonesia maka bisa dipastikan galangan Korsel sebagai pemenang tender dengan produk Changbogo class. Secara historis hingga kini Rusia sangat pelit dalam hal ToT kecuali dalam proyek besar yang dia tidak mampu mendanai sendiri. RRC pun mau tidak mau melakukan reverse engineering guna melakukan ToT secara sembunyi-sembunyi terhadap produk Rusia. Contohnya kasus copy desain Su-27 tanpa izin yang berakhir perselisihan dengan Rusia.
Fase reverse engineering (rekayasa balik) bukanlah sesuatu yang asing bagi Indonesia karena langkah-langkah alih teknologi sudah dibuat master plannya oleh mantan Menristek BJ Habibie dalam konsep alih teknologi dirgantara dengan filosofi “berawal dari akhir dan berakhir di awal” disebut dengan empat tahapan alih teknologi. Empat tahapan alih teknologi itu, pertama, memproduksi pesawat terbang berdasarkan lisensi utuh dari industri pesawat terbang lain, hasilnya adalah NC 212 lisensi dari Casa Spanyol. Kedua, memproduksi pesawat terbang secara bersama-sama, hasilnya adalah “Tetuko” CN-235 berkapasitas 30-35 penumpang yang merupakan produksi kerjasama secara equal antara IPTN dengan Casa Spanyol. Ketiga, mengintegrasikan seluruh teknologi dan sistem konstruksi pesawat terbang yang paling mutakhir yang ada di dunia menjadi sesuatu yang sama sekali didesain baru, di sinilah proses reverse engineering bermain, hasilnya adalah “Gatotkoco” N-250 berkapasitas 50-60 penumpang yang dikembangkan dengan teknologi fly-by-wire dari Airbus. Keempat, memproduksi pesawat terbang berdasarkan hasil riset kembali dari awal, yang diproyeksikan berupa pesawat turbojet bernama N-2130 berkapasitas 130 penumpang. Namun akhirnya Indonesia gagal pada fase keempat reverse engineering karena masalah pembiayaan sedangkan RRC melaju terus tanpa henti.
Dalam proses pengadaan kapal selam harusnya pemerintah lebih tegas dalam item ToT supaya nilai tambahnya pembelian kapal selam meski pada awalnya biaya dan resiko lebih tinggi dibanding beli jadi. Jangan sampai kalah langkah dengan Singapura. Dulu mereka melakukan tender pembuatan 6 frigat kelas formidable yang bekerja sama dengan galangan DCNS. Satu unit frigat dibuat di Lorient Perancis sedangkan sisanya dibuat oleh ST Enginnering di Singapura. Pada proyek korvet Sigma Indonesia, 4 unit semuanya dibuat di galangan Schelde tanpa satu pun yang dibangun di galangan lokal.
Merunut informasi sebelumnya selama beberapa tahun terakhir, tender yang sempat diulang kembali mengerucut pada 2 kontestan yaitu galangan Rusia dan Korsel. Mengacu pada hasrat pemerintah tentang prasyarat adanya unsur ToT (Transfer of Technology) di mana kapal selam dirakit di Indonesia maka bisa dipastikan galangan Korsel sebagai pemenang tender dengan produk Changbogo class. Secara historis hingga kini Rusia sangat pelit dalam hal ToT kecuali dalam proyek besar yang dia tidak mampu mendanai sendiri. RRC pun mau tidak mau melakukan reverse engineering guna melakukan ToT secara sembunyi-sembunyi terhadap produk Rusia. Contohnya kasus copy desain Su-27 tanpa izin yang berakhir perselisihan dengan Rusia.
Fase reverse engineering (rekayasa balik) bukanlah sesuatu yang asing bagi Indonesia karena langkah-langkah alih teknologi sudah dibuat master plannya oleh mantan Menristek BJ Habibie dalam konsep alih teknologi dirgantara dengan filosofi “berawal dari akhir dan berakhir di awal” disebut dengan empat tahapan alih teknologi. Empat tahapan alih teknologi itu, pertama, memproduksi pesawat terbang berdasarkan lisensi utuh dari industri pesawat terbang lain, hasilnya adalah NC 212 lisensi dari Casa Spanyol. Kedua, memproduksi pesawat terbang secara bersama-sama, hasilnya adalah “Tetuko” CN-235 berkapasitas 30-35 penumpang yang merupakan produksi kerjasama secara equal antara IPTN dengan Casa Spanyol. Ketiga, mengintegrasikan seluruh teknologi dan sistem konstruksi pesawat terbang yang paling mutakhir yang ada di dunia menjadi sesuatu yang sama sekali didesain baru, di sinilah proses reverse engineering bermain, hasilnya adalah “Gatotkoco” N-250 berkapasitas 50-60 penumpang yang dikembangkan dengan teknologi fly-by-wire dari Airbus. Keempat, memproduksi pesawat terbang berdasarkan hasil riset kembali dari awal, yang diproyeksikan berupa pesawat turbojet bernama N-2130 berkapasitas 130 penumpang. Namun akhirnya Indonesia gagal pada fase keempat reverse engineering karena masalah pembiayaan sedangkan RRC melaju terus tanpa henti.
Dalam proses pengadaan kapal selam harusnya pemerintah lebih tegas dalam item ToT supaya nilai tambahnya pembelian kapal selam meski pada awalnya biaya dan resiko lebih tinggi dibanding beli jadi. Jangan sampai kalah langkah dengan Singapura. Dulu mereka melakukan tender pembuatan 6 frigat kelas formidable yang bekerja sama dengan galangan DCNS. Satu unit frigat dibuat di Lorient Perancis sedangkan sisanya dibuat oleh ST Enginnering di Singapura. Pada proyek korvet Sigma Indonesia, 4 unit semuanya dibuat di galangan Schelde tanpa satu pun yang dibangun di galangan lokal.
Kapal Selam dengan VLS |
Memang diakui jika Indonesia memilih kelas Kilo tentu kapal selam yang didapat nanti akan memiliki daya deterrent besar namun Indonesia tidak mendapat nilai tambah selain produk kapal selam itu aja, tidak lebih, tetap akan bergantung pada Rusia selamanya. Meski tidak sehebat kelas Kilo, Changbogo sendiri masih mirip dengan sepasang kapal selam AL Indonesia yang sudah dioperasikan mulai dekade 80-an. Karena memang Changbogo produk Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering melisensi dari U-209/1200 Thyssen/Howaldtswerke-Deutsche Werft (HDW) Jerman yang mulai meluncur ke laut tahun 1991. Meski bukan produk baru dan lebih kecil dari Cakra class namun masih andal dalam operasi, pada spec tertentu Changbogo class bisa pula dibuat hingga 1400 ton. Yang lebih kecil punya AL Argentina U-209/1100, ARA San Luis, sangat mengesankan dalam perang Falkland 1982 melawan AL Inggris. Sejak karamnya destroyer Argentina ARA General Belgrano oleh kapal selam nuklir Inggris HMS Conqueror dan rusaknya kapal selam tua Argentina ARA Santa Fe akibat bom laut, armada kapal perang Argentina ditarik mundur semua ke pangkalan kecuali kapal selam U-209/1100 ARA San Luis. Armada AL Inggris menilainya sebagai ancaman serius dan mengejarnya selama 60 hari tanpa hasil hingga perang Malvinas berakhir. Pengejaran armada Inggris terhadap ARA San Luis melibatkan 1 kapal induk, 11 destroyer, 5 kapal selam nuklir, satu kapal selam diesel, dan lebih dari 25 helikopter ASW. Satu-satunya kesalahan ARA San Luis adalah kurangnya pelatihan awak dalam melayani torpedo kapal selam sehingga gagal meledakkan sasaran.
Kapal Selam U-212 dengan rudal anti pesawat |
Tidak ketinggalan Korsel juga sedang mengembangkan teknologi VLS (Vertical Launching System) pada platform U-214/1800. Sistem tersebut memungkinkan pemasangan rudal penjelajah Cheoryong, sebuah rudal jarak jauh Korsel yang mampu menjangkau sasaran sejauh 500 km, versi upgradenya bisa 1000 km. Namun apabila Jerman membatasi transfer teknologi kunci seperti tabung peluncurnya, Korsel meghadapi kesulitan untuk mengekspor kapal selam tersebut, juga regime kontrol rudal melarang ekspor rudal berdaya jelajah lebih dari 300 km. Di samping itu Thyssen-Krupp Marine System Jerman tengah mengembangkan IDAS (Interactive Defense and Attack System), suatu rudal antipesawat jarak pendek untuk kapal selam. Teknologi ini memberikan kemampuan kapal selam yang sedang menyelam untuk menyerang pesawat terbang atau heli ASW yang mengancamnya. Jarak jangkau hingga 20 km, tengah dikembangkan pada platform U-212. Menjadikan U-boat satu-satunya kapal selam yang memiliki kemampuan pertahanan udara. Kilasan teknologi kapal selam di atas membuka peluang dan cakrawala pandang Indonesia terhadap potensi pengembangan kemampuan kapal selam berbasis U-boat ke depan. Bila suatu saat bisa diakses oleh kapal selam Indonesi tidak menutup AL Indonesia akan memiliki armada kapal selam tercanggih di kawasan Asia Tenggara, melebihi Scorpene Malaysia dan Improved Kilo Vietnam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar